Rabu, 26 Agustus 2015

Gambaran Masyarakat Miskin di Perkotaan

Gambar masyarakat miskin di perkotaan merupakan masalah yang serius karena dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya kantong-kantong kemiskinan yang kronis dan kemudian menyebabkan lahirnya berbagai persoalan sosial di luar kontrol atau kemampuan pemerintah kota untuk menangani dan mengawasinya. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya, namun masih saja banyak kita jumpai permukiman masyarakat miskin di hampir setiap sudut kota yang disertai dengan ketidaktertiban dalam hidup bermasyarakat di perkotaan. Misalnya yaitu, pendirian rumah maupun kios dagang secara liar di lahan-lahan pinggir jalan sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas yang akhirnya menimbulkan kemacetan jalanan kota. Masyarakat miskin di perkotaan itu unik dengan berbagai problematika sosialnya sehingga perlu mengupas akar masalah dan merumuskan solusi terbaik bagi kesejahteraan mereka. Dapat dijelaskan bahwa bukanlah kemauan mereka untuk menjadi sumber masalah bagi kota namun karena faktor-faktor ketidakberdayaanlah yang membuat mereka terpaksa menjadi ancaman bagi eksistensi kota yang mensejahterahkan.
Untuk itu kewajiban pemerintah sangat diperlukan keefisienannya dalam menghadapi permasalahan masyarakat miskin kota ini. ”Pemerintahan perkotaan yang baik selalu berupaya menemukan cara-cara untuk dapat melibatkan kelompok miskin perkotaan, sehingga kebutuhan mereka dapat direfleksikan dalam kebijakan dan program-program pemerintah kota. Pencapaian untuk alternatif perkotaan masa depan sangat tergantung pada seberapa jauh kelompok-kelompok miskin mampu mengorganisasikan diri, yang tidak hanya terbatas dalam lingkup wilayah mereka tetapi juga dapat menghasilkan suatu kekuatan politik secara lebih besar dalam skala kota dan bangsa.” (Panos: Governing Our Cities). Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai permukiman masyarakat miskin biasanya adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.
Di kota-kota besar di negara-negara Dunia biasa ditemukan adanya daerah kumuh atau pemukiman miskin. Adanya daerah kumuh ini merupakan pertanda kuatnya gejala kemiskinan, yang antara lain disebabkan oleh adanya urbanisasi berlebih, di kota-kota tersebut. Secara umum, daerah kumuh (slum area) diartikan sebagai suatu kawasan pemukiman atau pun bukan kawasan pemukiman yang dijadikan sebagai tempat tinggal yang bangunan-bangunannya berkondisi substandar atau tidak layak yang dihuni oleh penduduk miskin yang padat. Kawasan yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai daerah pemukiman di banyak kota besar, oleh penduduk miskin yang berpenghasilan rendah dan tidak tetap diokupasi untuk dijadikan tempat tinggal, seperti bantaran sungai, di pinggir rel kereta api, tanah-tanah kosong di sekitar pabrik atau pusat kota, dan di bawah jembatan.
Stigmatisasi pembangunan perkotaan memposisikan kawasan dan lingkungan permukiman kumuh adalah penyakit kota. Kawasan dan lingkungan permukiman kumuh dianggap sebagai bagian wilayah kota yang sangat tidak produktif, kotor, tidak memiliki potensi, tidak efisien dan mengganggu estetika serta keindahan. Pendekatan konvensional yang paling populer adalah menggusur permukiman kumuh dan kemudian diganti oleh kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara seperti ini yang sering disebut pula sebagai peremajaan kota yang ternyata bukanlah cara yang berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan. Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan tetapi tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi permukimannya yang baru. Apalagi berkenaan dengan upaya pengembangan dan penguatan masyarakat, lemahnya pilihan taktis dan strategis dalam upaya pemecahan problem kaum miskin di perkotaan, sehingga yang terjadi justru penegakan kepentingan elit dan lebih mengejar target soisal-ekonomi-politik saja dan pemecahan masalahpun terkesan setengah hati. Stigma negatif terhadap komunitas dan lingkungan permukiman kumuh pada hakekatnya mengingkari kesejarahan kota, sedangkan praktek penggusuran dan pengusiran merupakan praktek pelanggaran terhadap hak-hak konstitusional, hak tradisional maupun hak asasi manusia yang melekat pada setiap warga dan masyarakatnya. Pada sisi lain, stigmatisasi tersebut sekaligus menunjukkan adanya sindrom inferioritas di kalangan pengelola kebijakan dan pemerintahan, yakni berupa ketidakberdayaan dan rendahnya kapasitas dalam mengelola pembangunan dan penciptaan kesejahteraan rakyat. Persoalan lebih mendasar dari stigmatisasi komunitas dan kawasan lingkungan permukiman kumuh, adalah bias sektoral pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Rumah hunian dan lingkungan permukiman merupakan bagian eksistensial bagi setiap manusia, sehingga praktek penggusuran dan pengusiran tersebut dapat dikatakan sebagai praktek dehumanisasi pembangunan. Tidak teringkari bahwa kawasan dan lingkungan permukiman kumuh perkotaan berkembang di luar kendali kebijakan dan sistem penataan ruang kawasan perkotaan. Dalam banyak kasus masyarakat pemukim kawasan ini berhadapan dengan persoalan laten terkait dengan ketidakpastian status hukum penguasaan dan penggunaan lahan, menempati lahan yang dalam perspektif lingkungan dan pengelolaan kawasan tidak direkomendasikan sebagai daerah hunian sampai lahan publik. Tidak ayal jika tanah-tanah in-absensia, bantaran sungai, penyangga jalan kereta api, pemakaman umum dan kawasan sekitar pembuangan akhir sampah perkotaan dikerumuni gubug-gubug, rumah semi permanen dan kemudian juga rumah permanen. Lingkungan permukiman kumuh tersebut miskin fasilitas umum dan dihuni para pekerja kota dalam berbagai sektor dan jenis pekerjaan. Di kawasan seperti ini kualitas lingkungan dan peri-kehidupan masyarakatnya buruk, sehingga mudah terjangkit berbagai persoalan penyakit endemik serta sarat masalah sosial dan kemiskinan. Konflik-konflik keagrariaan kota berkembang dan secara eksplosif muncul setiap saat. Persoalan yang terus mengendap dan laten menilik pada lemahnya penyelenggaraan hukum, perlindungan hak warga dan ketidakpastian serta inkonsistensi implementasi kebijakan penataan dan pengelolaan ruang kawasan. Komitmen pemerintah terhadap masalah kemiskinan, jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar manusia serta penanganan masalah permukiman kumuh merupakan usaha pemerintah menjalankan kewajiban konstitusionalnya atas hak-hak asasi warga yang dijamin konstitusi negara. Komitmen demikian memperoleh dorongan penguatan dari komitmen internasional.
Ditengah berbagai kelemahan dan kekurangan dalam sistem penyelenggaraan pengembangan perkotaan dan pelayanan permukiman yang ada dewasa ini, orientasi dan paradigma baru pembangunan kota, khususnya perumahan dan permukiman perkotaan, harus ditempuh. Stigma pengembangan kota sebagai penggusuran kelompok tak berdaya harus dihilangkan, sebaliknya pemberdayaan setiap pihak yang terlibat perlu ditingkatkan. Implementasi dari tekad dan komitmen ini masih membutuhkan penyempurnaan, baik proses maupun model dan polanya. Penyempurnaan ini nampaknya tidak cukup melalui peningkatan aspek ketrampilan profesional (professional skills) semata, akan tetapi juga menghendaki adanya perubahan paradigma. Perubahan ini justru menjadi dasar yang akan menentukan proses, pola dan model dalam sistem pengembangan kota. Perubahan paradigma dimaksud, tidak hanya untuk pengembangan kota tetapi merupakan tuntutan dan bagian integral dari pelaksanaan otonomi daerah; sebagai hak dan kewajiban daerah untuk mengurus dan mengatur daerah otonomi termasuk hal-hal yang menyangkut asas desentralisasi, terkait dengan pembagian dan penyerahan maupun pelimpahan wewenang secara proporsional.
Orientasi dan paradigma baru terkait dengan pijakan sikap, pikiran dan tindakan politik pemerintahan dan pembangunan yang mendudukkan rakyat (masyarakat) sebagai subyek dan bagian integral dalam penyelenggaraan negara. Perubahan ini menuntut penyempurnaan pada berbagai aspek, terutama terkait dengan kebijakan, pengelolaan sumberdaya aparat serta model, pendekatan dan metode kerja pembangunan dan pelayanan. Dalam pembangunan kota sebagai usaha penataan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman kumuh, secara paradigmatik pemerintah dituntut sikap keberpihakannya pada warga dan masyarakat penghuninya. Operasionalisasi pelayanan permukiman dituntut untuk selaras dengan penataan ruang kawasan perkotaan yang ada, namun aspirasi, inisiatip dan kepentingan warga miskin dan kelompok berpenghasilan rendah merupakan hal yang utama. Hal ini berarti merubah orientasi dan pandangan yang sebelumnya dominan, bahwa perumahan dan permukiman adalah persoalan individual warga sebagaimana tercermin dari model dan pendekatan pasar dalam pembangunan perumahan. Proses kerja dan pembelajaran bersama untuk membangun hubungan dan kerjasama pemerintah dan masyarakat menjadi pokok yang penting dan harus dijalani seluruh elemen pemerintahan. Pemerintah bersama seluruh aparat, kedinasan dan kebijakannya dituntut untuk bertindak partisipatoris dalam realitas kehidupan masyarakatnya dengan maksimalisasi peran sebagai regulator, pelayan dan pemberdaya masyarakat/warga dalam mencapai kesejahteraan.
Peran multi-pihak seperti swasta/dunia usaha, organisasi non-pemerintahan maupun perguruan tinggi dan lainnya dalam proses ini adalah kunci yang lain. Keterlibatan multi-pihak merupakan penguatan sistem dukungan bagi keberlanjutan usaha pembangunan perkotaan. Seperti pembangunan kawasan bisnis oleh swasta didorong dengan tetap menempatkan dan menguatkan keberadaan masyarakat di sekitarnya sebagai bagian dari keutuhan sistem kota secara sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pembebasan lahan jangan sampai dioperasionalkan sebagai praktek jual-beli dan pengusiran, tetapi kerjasama sinergis dalam penataan kawasan dengan masyarakat kota, terutama pemukim kawasan terbangun, sebagai subyek yang tidak boleh dinomorduakan.Bagaimanapun, pilihan warga untuk bertahan dan menghuni kawasan permukiman padat dan kumuh perkotaan karena asesibilitasnya yang mudah terhadap ruang kerja dan penghidupan mereka. Tempat-tempat demikian memungkinkan pekerja berpenghasilan terendah dapat hidup dan menjalankan berbagai aktivitas produktif dengan biaya terendah dalam suatu kegiatan ekonomi. Permukiman kumuh dapat memfasilitasi eksistensi dari bentuk keunggulan ekonomi komparatif ; memberi fungsi ekonomi dengan biaya yang kompetitif, baik dalam skala perekonomian tingkat kota, wilayah maupun global ; serta sebagai sumber keunggulan perekonomian kota. Mengelola tempat-tempat ini dengan baik, di bagian wilayah manapun, merupakan kunci untuk menjamin kesuksesan ekonomi dan kestabilan demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar